Suatu hari, terdapat sebuah diskusi hangat antara
seorang direktur sebuah perusahaan elit di bilangan kota Jakarta dengan
seorang kandidat karyawan yang sedang diinterview. Tersebutlah si
kandidat yang sedang diinterview ini adalah seorang lulusan dari sebuah
perguruan tinggi negeri paling bergengsi dan berkualitas di negeri ini.
Seabreg prestasi termasuk lulus dengan predikat suma caum laude pun
berhasil digaetnya, beasiswa dari banyak pihak selama kuliah pun
berhasil diraihnya. Intinya sangat cerdas dan sangat berprestasi.
“Sungguh saya sangat bangga membaca lamaran & CV, Anda. Sungguh saya merinding membaca satu persatu prestasi Anda, terutama prestasi ketika Anda kuliah, sungguh melejit dan bombastis. Anda sepertinya tidak punya waktu luang yang banyak selain untuk sibuk di organisasi ini itu, lomba ini itu, it’s so superb!” Begitu puji sang direktur dengan sedikit senyuman menatap sarjana muda suma cum laude di depannya.
“Bagaimana Anda bisa melakukan semua kebiasaan positif ini?” Tanya sang direktur melanjutkan.
“Saya sibuk bekerja keras, bekerja keras belajar, bekerja keras menyibukkan diri di organisasi ini itu yang sifatnya semuanya positif. Dan saya pun bekerja keras mencari beasiswa sana-sini untuk kerianganan biaya kuliah saya. Itu sekilas yang biasa saya lakukan, Pak.” Jelas sarjana muda bersemangat.
“Umm…amazing sekali ya. Tapi, ngomong berkenankah saya melihat telapak tangan Anda?” Pinta sang direktur dengan senyuman.
Sarjana muda bingung apa hubungannya interview dengan
melihat telapak tangannya. Toh biasanya dalam berbagai kelas seminar
dunia karir tidak pernah dia menemukan kasus sang direktur melakukan
sebuah perminataan seperti itu. Sederhana sih, tapi terasa aneh. Antara
bingung dan canggung, ya sudah nurut saja menglurkan telapak tangannya.
“Silakan, Pak.” Jawab sarjana muda dengan agak gemetar, sedikit nampak keraguan. Raut mukanya masih diselimuti kebingungan mendalam.
“Hmmm… Tangan Anda sungguh snagat putih, bersih, dan halus lembut. Boleh tahu apa pekerjaan kedua orangtua Anda saat ini?” Tanya sang direktur lebih lanjut.
“Ayah saya sudah meninggal sejak saya kecil. Ibu sayalah yang jadi tulang punggung saya di keluarga. Pekerjaan Ibu saya sebagai buruh cuci pakaian tetangga.” Papar sarjana muda dengan sedikit muka sedih. Mungkin terbayang kenangan pahit ditinggal sang ayah.
“Sejak kapan ibu Anda menggeluti hidupnya sebagai buruh cuci pakaian?”
“Sejak saya masuk SMP, Pak.”
“Dari SMP sampai Anda kuliah bagaimana prestasi Anda terutama prestasi akademik?”
“Sangat bagus, Pak. Sering saya menerima beasiswa dari sekolah untuk meringankan biaya sekolah.”
“Oow… Pernahkah Anda membantu pekerjaan Ibu Anda sebagai buruh cuci pakaian?”
“Mohon maaf, Pak. Ibu saya sering menasihati saya untuk terus belajar dan bekerja keras tiada henti agar saya bisa sekolah tinggi, di tempat yang berkualitas, serta lulus dengan sangat memuaskan. Saya terlalu sibuk untuk organisasi dan kegiatan lain sebagai pendorong utama kesuksesan saya di dunia perkuliahan.” Terang sarjana muda.
“Hmm… Silakan Anda pulang ke rumah, saya beri anda waktu 10 hari untuk merubah kebiasaan buruk Anda tidak pernah membantu pekerjaan orangtua. Setelah ada perubahan apa yang telah Anda lakukan terhadap orangtua Anda, silakan datang lagi ke sini. Mudah-mudahan Anda masih mendapatakan posisi layak di perusahaan kami.” Papar sang direktur kemudian berlalu meninggalkan sarjana muda yang jenius dan berprestasi di depannya.
Sarjana muda hanya menunduk, wajah merah menahan malu dan sedikit amarah, lalu meneteskan airmata. Batinnya bergejolak, perang!
“Kenapa saya ditolak? ‘Kan saya sangat kaya akan prestasi. Nilai IPK saya tinggi, kampus saya bergengsi, jurusan saya pun sangat cocok untuk posisi penting di perusahaan ini. Saya sangat ahli di bidang ini. Tapi kenapa saya ditolak, kenapa?” Begitu gemuruh batinnya meronta keras.
Antara bayangan karir cemerlang dan penderitaan
ibunya, ketika pulang dia menyaksikan secara perlahan kondisi ibunya.
Dari kejauhan Nampak jelas jalannya sudah tak sekuat dulu ketika masih
ada bapaknya. Tak sekuat dulu ketika masih muda, kulitnya tak seindah
dulu yang belum keras bekerja. Lantunan bicara dan suaranya tak seindah
dulu. Dan ketika sudah dekat si anak ini langsung ambruk di depan
ibunya, memeluknya segera sambil menjerit menangis. Dia lihat kedua
telapak tangan ibunya. Nampak banyak bekas luka dan snagat kasar sekali.
Sungguh sarjana muda makin menjerit tangisannya.
“Ibu, maafkan Ananda! Maafkan selama bertahun-tahun
Ananda tidak pernah peduli dengan keadaan Ibu ini. Maafkan Ananda yang
enggan membantu Ibu hanya karena terlalu egois mengejar kesuksesan di
kuliahan. Maafkan Andana, Ibu!” Jeritnya makin mengaung.
Ibunya terdiam, setetes demi setetes airmata wanita tua itu jatuh menghantam debu-debu tanah di depan rumah reyotnya.
“Tidak apa-apa, Nak. Kamu fokus saja dengan pendidikan dan karirmu. Teruslah berprestasi dan beribadah pada Tuhan, Nak.” Tangisan dan suara serak bercampur dari mulut si ibu.
“Tidak, Bu. Justru Ananda tersadarkan, hidup Ananda tidak akan berkah dan kini terasa sulit hanya untuk menembus karir saja. Ibu sudah menyadarkan dan mencambuk Ananda.”
Ibunya terdiam, setetes demi setetes airmata wanita tua itu jatuh menghantam debu-debu tanah di depan rumah reyotnya.
“Tidak apa-apa, Nak. Kamu fokus saja dengan pendidikan dan karirmu. Teruslah berprestasi dan beribadah pada Tuhan, Nak.” Tangisan dan suara serak bercampur dari mulut si ibu.
“Tidak, Bu. Justru Ananda tersadarkan, hidup Ananda tidak akan berkah dan kini terasa sulit hanya untuk menembus karir saja. Ibu sudah menyadarkan dan mencambuk Ananda.”
Keesokan harinya si anak mulai merubah sikapnya.
Mati-matian belajar keras bagaimana getirnya hidup ibunya sebagai buruh
cuci juga ratu di gubuk tua dan reyotnya. 10 hari si anak membantu
bekerja dengan ibunya. Nampak jelas banyak luka pedih di tangannya.
Tanganyya kini berubah menjadi kasar danjelas banyak bekas luka. Maklum
belum terbiasa.
“Pak, saya datang menghadap Bapak bukan untuk
mengharap pekerjaan dan posisi di perusahaan Bapak. Saya hanya ingin
menyampaikan terima kasih secara langsung Bapak telah menjadi guru
kehidupan saya. Bapak telah mencambuk saya. Saya sedang belajar total
bagaimana getirnya kehidupan dan ebban hidup Ibu saya. Dan saya ingin
menikmatinya juga, bukan hanya ibu saya sendirian. Sekali lagi terima
kasih, Pak.” Kemudian sarjana muda ijin pamit, undur diri. Kemudian
menyalami tangan snag direktur.
Direktur merasa ada perubahan, tangan anak muda ini
kini menjadi sangat kasar. Dan ketika dilihat benar saja telah banyak
luka dan rupa merah di kedua tangan anak muda tersebut.
“Anak muda…” Potong sang direktur sebelum sarjana muda ini berlalu dari runagannya.
“Duduklah dulu, saya mau bicara. Jujur, perusahaan kami bukan perusahaan sembarangan. Dan kami tidak hanya mau merekrut calon karyawan yang cerdas dalam akademis, manajerial oraganisasi, tapi juga memiliki integritas, profesionalitas, dan memiliki hati. Selamat kamu sduah menemukan hatimu yang sebenarnya. Selamat, Anda diterima di perusahaan kami. Senin depan adalah hari pertama Anda bekerja professional di perusahaan kami.” Papar sang direktur dan kini giliran sang direktur yang berllau meninggalkan sarjana muda. Sang direktur terharu, meneteskan air mata. Dan kini, si sarjana muda kembali menangis. Kedua orang ini sama-sama meneteskan air mata.
“Anak muda…” Potong sang direktur sebelum sarjana muda ini berlalu dari runagannya.
“Duduklah dulu, saya mau bicara. Jujur, perusahaan kami bukan perusahaan sembarangan. Dan kami tidak hanya mau merekrut calon karyawan yang cerdas dalam akademis, manajerial oraganisasi, tapi juga memiliki integritas, profesionalitas, dan memiliki hati. Selamat kamu sduah menemukan hatimu yang sebenarnya. Selamat, Anda diterima di perusahaan kami. Senin depan adalah hari pertama Anda bekerja professional di perusahaan kami.” Papar sang direktur dan kini giliran sang direktur yang berllau meninggalkan sarjana muda. Sang direktur terharu, meneteskan air mata. Dan kini, si sarjana muda kembali menangis. Kedua orang ini sama-sama meneteskan air mata.
0 comments:
Post a Comment