Blogger Tricks

Friday, February 7, 2014

Revolusi Sains dari Lembaran Kertas dan Pensil

abeng yogta


Salah satu buku yang menarik untuk dibaca di akhir pekan ini ialah kisah hidup Albert Einstein, yang ditulis oleh Walter Isaacson dengan begitu piawai. Isaacson, sebagaimana ia menulis bografi Steve Jobs, melukis sejarah hidup Einstein sebagai orang besar yang juga memiliki kelemahan. Walau kisah hidupnya tidak setragis matematikawan John Nash seperti diceritakan dengan penuh empati oleh Sylvia Nasar dalam A Beautiful Mind.
Salah satu babak hidup Einstein berlangsung di kantor paten Bern, Swiss. Sejarah penuh dengan lelucon buruk, ucap Jakob Laub tatkala mengetahui bahwa Albert Einstein ternyata bekerja sebagai pegawai kelas tiga di kantor paten, Bern, Swiss. Fisikawan revolusioner ini bukan berkantor di sebuah kampus ternama tempat para profesor terhormat menempati ruang-ruang kerja yang lapang.
Ketika melahirkan 5 makalah yang mengguncang jagat fisika, Einstein belum lagi seorang doktor, apa lagi guru besar universitas. Setelah delapan jam kerja memeriksa permohonan paten, ia menekuni ‘fisika sebagai hobi’. Einstein menggulingkan fondasi fisika Newtonian pada usia 26 tahun di tengah upaya para raksasa zaman itu (Planck, Poincare, Lorentz, di antaranya) untuk mempertahankan pikiran lama.
Itulah Annus Mirabilis (Tahun Keajaiban, 1905) yang merangkum lima pikiran besar Einstein: radiasi dan sifat energi pada cahaya (kuantum), penentuan ukuran sejati atom, gerak tak beraturan partikel mikroskopis dalam fluida, eletrodinamika benda bergerak, dan hubungan antara energi dan massa (E=mc2). Sepuluh tahun kemudian, ia melengkapinya dengan relativitas umum.
Dengan kemahiran matematis terbatas, Einstein mengandalkan kekuatan imajinasinya—ia membangun teori dengan pensil dan kertas. Teori-teorinya lahir dari eksperimen pikiran yang dituntun oleh semangat pemberontakan terhadap kemapanan. Melihat dengan cara berbeda, itulah yang dilakukan Einstein.
Fisikawan lain terkungkung dalam pikiran lama sehingga sukar keluar dari kesulitan. Ketika fisikawan lain berkutat pada eter, Einstein sampai pada pemikiran bahwa eter tidak diperlukan. Ketika semua fisikawan terpana mengapa kecepatan cahaya selalu terlihat konstan berapapun cepatnya Anda bergerak, Einsteinlah yang mengatakan bahwa mungkin itu terjadi karena ‘waktu melambat’ ketika Anda bergerak cepat. Waktu tidak absolut, kata Einstein.
Dengan imajinasi dan kreativitas yang tengah memuncak, Einstein membawa gagasan revolusioner tentang ruang dan waktu. Kendati mendobrak teori-teori yang diajukan para raksasa itu, Einstein secara pribadi menghormati dan menghargai mereka. Saat menemukan kesalahan dalam proses pembuktian oleh Planck, meskinya hasil akhirnya benar, Einstein menunjukkan kesalahan itu dengan cara berputar: menuliskan jalan pemecahan alternatif.
Isaacson memotret Einstein sebagai manusia seutuhnya—orang hebat yang punya kelemahan, merasakan kegetiran hidup, gagal dalam perkawinan, tapi juga punya selera humor yang hangat. Ketika ia diminta menulis makalah tambahan di luar makalah yang sudah diterbitkan, sebagai syarat untuk diangkat menjadi privatdozent di Universitas Praha, Einstein tidak mau repot. Ia malah melamar untuk menjadi guru fisika di SMA saja. Malangnya, dari puluhan pelamar guru, ia tidak terpilih di antara tiga calon teratas.
Sebagai klerk, Einstein tidak memilik akses kepada laboratorium untuk bereksperimen dengan berbagai piranti. Otaknya menjadi lapangan terluas untuk melakukan eksperimen imajiner, tempat ia mengaitkan gagasan dengan pengalaman praktis. Kekuatan imajinasi Einstein tersirat dalam suratnya kepada editor Yearbook of Radioactivity and Electronics bahwa mungkin ia belum membaca semua literatur saat menulis pengantar buku itu. Alasan Einstein, “karena perpustakaan tutup pada hari libur saya.”
Keberhasilan ilmiah Einstein didasarkan atas bakat khususnya mengendus berbagai prinsip fisika fundamental alam. Ia membiarkan orang lain mengerjakan tugas yang tmpak kurang mulia, yaitu menemukan persamaan matematis terbaik bagi berbagai prinsip tersebut, seperti dilakukan rekannya di Zurich, Minkowski, untuk relativitas khusus.
Mengapa Einstein menemukan teori besar sementara fisikawan sezamannya tidak? Baik Lorentz maupun Poincare menghasilkan banyak komponen teori Einstein. Poincare bahkan mempertanyakan sifat kemutlakan waktu. Perbedaan pokok di antara mereka, menurut fisikawan Freeman Dyson, ialah karena Poincare konservatif sedangkan Einstein seorang revolusioner. Einstein melakukan lompatan imajinatif dan menyingkapkan asas-asas utama fisika melalui eksperimen imajiner, bukan melalui induksi metodis berdasarkan data-data hasil eksperimen.
Kita harus memperlakukan Einstein bukan sebagai august scientific priest, tulis Isaacson, melainkan seorang pembangkang yang memburu rahasia di balik harmoni alam, seorang ilmuwan yang meletakkan imajinasi lebih tinggi dari pengetahuan. Dorongan seketika untuk mempertanyakan otoritas, sikap berandalan dalam menghadapi keteraturan, dan kurang menghormati kearifan umum berkontribusi bagi pencapaiannya dalam fisika.
Lebih dari kisah pencapaiannya dalam sains, Isaacson melukiskan Einstein sebagai manusia multi-dimensi. Ia senang bermain musik, membicarakan gagasan hingga larut malam, minum kopi kental, dan mengisap cerutu kertas. Ia cenderung ramah kepada siapapun. Selama orang tidak menuntut atau meletakkan beban emosional atas dirinya, Einstein siap menjalin persahabatan. “Saya benar-benar seorang pelancong penyendiri dan tidak pernah rindu pada negara, kampung halaman, teman, atau bahkan keluarga dekat, dengan sepenuh hati. Di hadapan seluruh ikatan itu, saya selalu merasakan adanya jarak dan kebutuhan untuk menyendiri.”
Bagi Einstein, musik bukan pelarian, melainkan lebih sebagai penghubung: pada keselarasan yang mendasari alam semesta, pada genius kreatif para komposer besar, dan pada orang lain yang merasa nyaman dengan hal-hal yang lebih dari kata-kata. Ia terpesona oleh keindahan harmoni, baik dalam musik maupun dalam fisika. Memelihara individualitas itu penting, kata Einstein, karena hanya individu yang bisa menghasilkan gagasan baru.
Di usia tua, Einstein berhadapan dengan kontradiksi-kontradiksi yang sukar ia damaikan, termasuk dengan perkembangan mekanika kuantum yang ia turut merintisnya. Perselisihannya dengan Bohr-Heisenberg, fisikawan dari generasi yang lebih muda, ihwal mekanika kuantum bukan hanya perihal “Tuhan bermain dadu” atau sebab-akibat, atau lokalitas dan kesempurnaan, melainkan tentang realitas. Apakah fisika itu persepsi kita tentang realitas, ataukah realitas di alam itu tidak bergantung pada kemampuan kita mengamati atau mengukurnya?
Einstein berjuang keras menemukan teori medan terpadunya hingga akhir hayatnya. Sebelum tidur untuk selama-lamanya, ia berusaha menuliskan satu baris simbol dan angka yang ia harapkan dapat membantu dirinya, dan kita semua, sedikit lebih dekat dengan semangat yang terdapat dalam hukum alam semesta. Einstein dikremasi di hadapan 12 orang terdekatnya. Beberapa baris karya Goethe dibacakan untuknya, lalu abunya ditebarkan di Sungai Delaware.
Sebagai fisikawan besar, Einstein sangat dikenal kesederhanaannya. Ketika diundang ke Universitas Princeton, AS, untuk bergabung di Institut Studi Lanjut, dan apa yang ia butuhkan, Einstein menjawab, “Satu meja, satu kursi, kertas, dan pensil. Oh, ya, ditambah keranjang sampah besar, tempat saya bisa membuang semua kesalahan saya.” Kertas dan pensil adalah alat eksperimen imajinernya yang telah melahirkan pikiran-pikiran besar yang mengantarkan manusia memasuki zaman baru. ***

sumber : google.co.id

0 comments:

Post a Comment