Salah satu buku yang menarik untuk
dibaca di akhir pekan ini ialah kisah hidup Albert Einstein, yang ditulis oleh
Walter Isaacson dengan begitu piawai. Isaacson, sebagaimana ia menulis bografi
Steve Jobs, melukis sejarah hidup Einstein sebagai orang besar yang juga
memiliki kelemahan. Walau kisah hidupnya tidak setragis matematikawan John Nash
seperti diceritakan dengan penuh empati oleh Sylvia Nasar dalam A Beautiful
Mind.
Salah satu babak hidup Einstein
berlangsung di kantor paten Bern, Swiss. Sejarah penuh dengan lelucon buruk,
ucap Jakob Laub tatkala mengetahui bahwa Albert Einstein ternyata bekerja
sebagai pegawai kelas tiga di kantor paten, Bern, Swiss. Fisikawan revolusioner
ini bukan berkantor di sebuah kampus ternama tempat para profesor terhormat menempati
ruang-ruang kerja yang lapang.
Ketika melahirkan 5 makalah yang
mengguncang jagat fisika, Einstein belum lagi seorang doktor, apa lagi guru
besar universitas. Setelah delapan jam kerja memeriksa permohonan paten, ia
menekuni ‘fisika sebagai hobi’. Einstein menggulingkan fondasi fisika Newtonian
pada usia 26 tahun di tengah upaya para raksasa zaman itu (Planck, Poincare,
Lorentz, di antaranya) untuk mempertahankan pikiran lama.
Itulah Annus Mirabilis (Tahun
Keajaiban, 1905) yang merangkum lima pikiran besar Einstein: radiasi dan sifat
energi pada cahaya (kuantum), penentuan ukuran sejati atom, gerak tak beraturan
partikel mikroskopis dalam fluida, eletrodinamika benda bergerak, dan hubungan
antara energi dan massa (E=mc2). Sepuluh tahun kemudian, ia melengkapinya
dengan relativitas umum.
Dengan kemahiran matematis terbatas,
Einstein mengandalkan kekuatan imajinasinya—ia membangun teori dengan pensil
dan kertas. Teori-teorinya lahir dari eksperimen pikiran yang dituntun oleh
semangat pemberontakan terhadap kemapanan. Melihat dengan cara berbeda, itulah
yang dilakukan Einstein.
Fisikawan lain terkungkung dalam pikiran
lama sehingga sukar keluar dari kesulitan. Ketika fisikawan lain berkutat pada
eter, Einstein sampai pada pemikiran bahwa eter tidak diperlukan. Ketika semua
fisikawan terpana mengapa kecepatan cahaya selalu terlihat konstan berapapun
cepatnya Anda bergerak, Einsteinlah yang mengatakan bahwa mungkin itu terjadi
karena ‘waktu melambat’ ketika Anda bergerak cepat. Waktu tidak absolut, kata Einstein.
Dengan imajinasi dan kreativitas yang
tengah memuncak, Einstein membawa gagasan revolusioner tentang ruang dan waktu.
Kendati mendobrak teori-teori yang diajukan para raksasa itu, Einstein secara
pribadi menghormati dan menghargai mereka. Saat menemukan kesalahan dalam
proses pembuktian oleh Planck, meskinya hasil akhirnya benar, Einstein
menunjukkan kesalahan itu dengan cara berputar: menuliskan jalan pemecahan
alternatif.
Isaacson memotret Einstein sebagai
manusia seutuhnya—orang hebat yang punya kelemahan, merasakan kegetiran hidup,
gagal dalam perkawinan, tapi juga punya selera humor yang hangat. Ketika ia
diminta menulis makalah tambahan di luar makalah yang sudah diterbitkan,
sebagai syarat untuk diangkat menjadi privatdozent di Universitas Praha,
Einstein tidak mau repot. Ia malah melamar untuk menjadi guru fisika di SMA
saja. Malangnya, dari puluhan pelamar guru, ia tidak terpilih di antara tiga
calon teratas.
Sebagai klerk, Einstein tidak memilik
akses kepada laboratorium untuk bereksperimen dengan berbagai piranti. Otaknya
menjadi lapangan terluas untuk melakukan eksperimen imajiner, tempat ia
mengaitkan gagasan dengan pengalaman praktis. Kekuatan imajinasi Einstein
tersirat dalam suratnya kepada editor Yearbook of Radioactivity and
Electronics bahwa mungkin ia belum membaca semua literatur saat menulis
pengantar buku itu. Alasan Einstein, “karena perpustakaan tutup pada hari libur
saya.”
Keberhasilan ilmiah Einstein didasarkan
atas bakat khususnya mengendus berbagai prinsip fisika fundamental alam. Ia
membiarkan orang lain mengerjakan tugas yang tmpak kurang mulia, yaitu
menemukan persamaan matematis terbaik bagi berbagai prinsip tersebut, seperti
dilakukan rekannya di Zurich, Minkowski, untuk relativitas khusus.
Mengapa Einstein menemukan teori besar
sementara fisikawan sezamannya tidak? Baik Lorentz maupun Poincare menghasilkan
banyak komponen teori Einstein. Poincare bahkan mempertanyakan sifat kemutlakan
waktu. Perbedaan pokok di antara mereka, menurut fisikawan Freeman Dyson, ialah
karena Poincare konservatif sedangkan Einstein seorang revolusioner. Einstein
melakukan lompatan imajinatif dan menyingkapkan asas-asas utama fisika melalui
eksperimen imajiner, bukan melalui induksi metodis berdasarkan data-data hasil
eksperimen.
Kita harus memperlakukan Einstein bukan
sebagai august scientific priest, tulis Isaacson, melainkan seorang pembangkang
yang memburu rahasia di balik harmoni alam, seorang ilmuwan yang meletakkan
imajinasi lebih tinggi dari pengetahuan. Dorongan seketika untuk mempertanyakan
otoritas, sikap berandalan dalam menghadapi keteraturan, dan kurang menghormati
kearifan umum berkontribusi bagi pencapaiannya dalam fisika.
Lebih dari kisah pencapaiannya dalam
sains, Isaacson melukiskan Einstein sebagai manusia multi-dimensi. Ia senang
bermain musik, membicarakan gagasan hingga larut malam, minum kopi kental, dan
mengisap cerutu kertas. Ia cenderung ramah kepada siapapun. Selama orang tidak
menuntut atau meletakkan beban emosional atas dirinya, Einstein siap menjalin
persahabatan. “Saya benar-benar seorang pelancong penyendiri dan tidak pernah
rindu pada negara, kampung halaman, teman, atau bahkan keluarga dekat, dengan
sepenuh hati. Di hadapan seluruh ikatan itu, saya selalu merasakan adanya jarak
dan kebutuhan untuk menyendiri.”
Bagi Einstein, musik bukan pelarian,
melainkan lebih sebagai penghubung: pada keselarasan yang mendasari alam
semesta, pada genius kreatif para komposer besar, dan pada orang lain yang
merasa nyaman dengan hal-hal yang lebih dari kata-kata. Ia terpesona oleh keindahan
harmoni, baik dalam musik maupun dalam fisika. Memelihara individualitas itu
penting, kata Einstein, karena hanya individu yang bisa menghasilkan gagasan
baru.
Di usia tua, Einstein berhadapan dengan
kontradiksi-kontradiksi yang sukar ia damaikan, termasuk dengan perkembangan
mekanika kuantum yang ia turut merintisnya. Perselisihannya dengan
Bohr-Heisenberg, fisikawan dari generasi yang lebih muda, ihwal mekanika
kuantum bukan hanya perihal “Tuhan bermain dadu” atau sebab-akibat, atau
lokalitas dan kesempurnaan, melainkan tentang realitas. Apakah fisika itu
persepsi kita tentang realitas, ataukah realitas di alam itu tidak bergantung
pada kemampuan kita mengamati atau mengukurnya?
Einstein berjuang keras menemukan teori
medan terpadunya hingga akhir hayatnya. Sebelum tidur untuk selama-lamanya, ia
berusaha menuliskan satu baris simbol dan angka yang ia harapkan dapat membantu
dirinya, dan kita semua, sedikit lebih dekat dengan semangat yang terdapat
dalam hukum alam semesta. Einstein dikremasi di hadapan 12 orang terdekatnya.
Beberapa baris karya Goethe dibacakan untuknya, lalu abunya ditebarkan di
Sungai Delaware.
Sebagai fisikawan besar, Einstein sangat
dikenal kesederhanaannya. Ketika diundang ke Universitas Princeton, AS, untuk
bergabung di Institut Studi Lanjut, dan apa yang ia butuhkan, Einstein
menjawab, “Satu meja, satu kursi, kertas, dan pensil. Oh, ya, ditambah
keranjang sampah besar, tempat saya bisa membuang semua kesalahan saya.” Kertas
dan pensil adalah alat eksperimen imajinernya yang telah melahirkan
pikiran-pikiran besar yang mengantarkan manusia memasuki zaman baru. ***
sumber : google.co.id
0 comments:
Post a Comment